Laman

Selasa, 20 Desember 2011

Arti Dan Fungsi Sarana Upakara


Berikut ini adalah tulisan tentang rangkuman pada buku arti dan fungsi sarana upakara.

Salah satu bentuk pengamalan beragama Hindu adalah berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Disamping itu pelaksanaan agama juga di laksanakan dengan Karma dan Jnyana. Bhakti, Karma dan Jnyana Marga dapat dibedakan dalam pengertian saja, namun dalam pengamalannya ketiga hal itu luluh menjadi satu. Upacara dilangsungkan dengan penuh rasa bhakti, tulus dan ikhlas. Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktu dan itupun dilakukan dengan penuh keikhlasan.

Untuk melaksanakan upacara dalam kitab suci sudah ada sastra-sastranya yang dalam kitab agama disebut Yadnya Widhi yang artinya peraturan-peraturan beryadnya. Puncak dari Karma dan Jnyana adalah Bhakti atau penyeraha diri. Segala kerja yang kita lakukan pada akhirnya kita persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan cara seperti itulah Karma dan Jnyana Marga akan mempunyai nilai yang tinggi.

Kegiatan upacara ini banyak menggunakan simbul-simbul atau sarana. Simbul - simbul itu semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya masing-masing. Berbhakti pada Tuhan dalam ajaran Hindu ada dua tahapan, yaitu pemahaman agama dan pertumbuhan rokhaninya belum begitu maju, dapat menggunakan cara Bhakti yang disebut ”Apara Bhakti”. Sedangkan bagi mereka yang telah maju dapat menempuh cara bhakti yang lebih tinggi yang disebut ”Para Bhakti”.

Apara Bhakti adalah bhakti yang masih banyak membutuhkan simbul-simbul dari benda-benda tertentu. Sarana-sarana tersebut merupakan visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci. Menurut Bhagavadgita IX, 26 ada disebutkan : sarana pokok yang wajib dipakai dasar untuk membuat persembahan antara lain:
- Pattram = daun-daunan,
- Puspam = bunga-bungaan,
- Phalam = buah-buahan,
- Toyam = air suci atau tirtha.
Dalam kitab-kitab yang lainnya disebutkan pula Api yang berwujud “dipa dan dhÅ­pa” merupakan sarana pokok juga dalam setiap upacara Agama Hindu. Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah upakara atau sarana upacara yang telah berwujud tertentu dengan fungsi tertentu pula. Meskipun unsur sarana yang dipergunakan dalam membuat upakara adalah sama, namun bentuk-bentuk upakaranya adalah berbeda-beda dalam fungsi yang berbeda-beda pula namun mempunyai satu tujuan sebagai sarana untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.



Arti dan Fungsi Bunga

Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai ”... sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai lambang ketulusikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan tanpa dasar kita suci.

Untuk fungsi bunga yang penting yaitu ada dua dalam upacara. Berfungsi sebagai simbul, Bunga diletakkan tersembul pada puncak cakupan kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah bunga tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau disumpangkan di telinga. Dan fungsi lainnya yaitu bunga sebagai sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa ataupun roh suci leluhur.

Dari Bunga, buah dan daun di Bali dibuat suatu bentuk sarana persembahyangan seperti : canang, kewangen, bhasma dan bija. Canang, kewangen, bhasma dan bija ini adalah sarana persembahyangan yang berasal dari unsur bunga, daun, buah dan air. Semua sarana persembahyangan tersebut memiliki arti dan makna yang dalam dan merupakan perwujudan dari Tatwa Agama Hindu.

Adapun arti dari masing-masing sarana tersebut antara lain yaitu :


1. Canang

Canang ini merupakan upakara yang akan dipakai sarana persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Bhatara Bhatari leluhur. Unsur - unsur pokok daripada canang tersebut adalah:

a. Porosan terdiri dari : pinang, kapur dibungkus dengan sirih.
Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan : pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.
b. Plawa yaitu daun-daunan yang merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, seperti yang disebutkan dalam lontar Yadnya Prakerti.
c. Bunga lambang keikhlasan
d. Jejahitan, reringgitan dan tetuasan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran.
e. Urassari yaitu berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana dari pada hiasan Swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi.

2. Kewangen

Kewangen berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari kata “Wangi” artinya harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga menjadi “kewangian”, lalu disandikan menjadi Kewangen, yang artinya keharuman. Dari arti kata kewangen ini sudah ada gambaran bagi kita tentang fungsi kewangen untuk mengharumkan nama Tuhan.

Arti dan makna unsur yang membentuk kewangen tersebut adalah Kewangen lambang ”Omkara”. Kewangen disamping sebagai sarana pokok dalam persembahyangan, juga dipergunakan dalam berbagai upacara Pancayadnya. Kewangen sebagai salah satu sarana penting untuk melengkapi banten pedagingan untuk mendasari suatu bangunan.

Demikian pula dalam upacara Pitra Yadnya, ketika dilangsungkan upacara memandikan mayat, kewangen diletakkan di setiap persendian orang meninggal yang jumlahnya sampai 22 buah kewangen, dimana fungsi kewangen disini adalah sebagai lambang Pancadatu (lambang unsur-unsur alam) sendang fungsi Kawangen dalam upacara memandikan mayat sebagai pengurip-urip.

3. Bunga sebagai Lambang, antara lain
a. Bunga lambang restu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa
b. Bunga lambang jiwa dan alam pikiran.
c. Bunga yang baik untuk sarana keagamaan.



Arti dan Fungsi Api Dhupa dan Dipa

Dalam persembahyangan Api itu diwujudkan dengan : Dhupa dan Dipa. Dhupa adalah sejenis harum-haruman yang dibbakar sehingga berasap dan berbau harum. Dhupa dengan nyala apinya lambang Dewa Agni yang berfungsi :

1. Sebagai pendeta pemimpin upacara
2. Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja
3. Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat
4. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan.

Kalau kita hubungkan antara sumber-sumber kitab suci tentang penggunaan api sebagai sarana persembahyangan dan sarana upacara keagamaan lainnya, memang benar, sudah searah meskipun dalam bentuk yang berbeda. Disinilah letak keluwesan ajaran Hindu yang tidak kaku itu, pada bentuk penampilannya tetapi yang diutamakan dalam agama Hindu adalah masalah isi dalam bentuk arah, azas harus tetap konsisten dengan isi kitab suci Weda. Karena itu merubah bentuk penampilan agama sesuai dengan pertumbuhan zaman tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ia harus mematuhi ketentuan-ketentuan sastra dresta dan loka drsta atau : desa, kala, patra dan guna.



Arti dan Fungsi Tirtha

Air merupakan sarana persembahyangan yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai dalam persembahyangan yaitu : Air untuk membersihkan mulut dan tangan, kedua air suci yang disebut Tirtha. Tirtha inipun ada dua macamnya yaitu: tirtha yang di dapat dengan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhatara-bhatari dan Tirtha dibuat oleh pendeta dengan puja.
Tirtha berfungsi untuk membersihkan diri dari kekotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala, diminum dan diusapkan pada muka, simbolis pembersihan bayu, sabda, dan idep. Selain sarana itu, biasanya dilengkapi juga dengan bija, dan bhasma yang disebut gandhaksta.

Tirtha bukanlah air biasa, tirtha adalah benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan persanaan, pikiran yang suci. Untuk asal usul kata Tirtha sesungguhnya berasal dari bahasa Sansekertha.

Macam - macam Tirtha untuk melakukan persembahyangan ada dua jenis yaitu tirtha pembersihan dan tirtha wangsuhpada. Arti dan makna tirtha ditinjau dari segi penggunaannya dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Tirtha berfungsi sebagai lambang penyucian dan pembersihan
b. Tirtha berfungsi sebagai pengurip / penciptaan.
c. Tirtha berfungsi sebagai pemeliharaan

Dalam Rg Weda I, bagian kedua sukta 5, mantra 2 dan 5 dijelaskan Dewa Indra sebagai pemberi air soma yang merupakan air suci. Mantra adalah Weda, sehingga kitab Catur Weda disebut kitab Mantra, karena tersusun dalam bentuk syair-syair pujaan. Mantra itu banyak macam dan ragamnya, ada mantra yang hanya terdiri dari dua, tida atau lima suku kata seperti: Om Ang Ah, Ang Ung Mang, Sang Bang Tang Ang Ing dan sebagainya. Mantra juga disebut ”Bija Mantra”. Suku kata yang demikian itu dianggap mengandung sakti, disebut ”Wijaksara”.

Mantra yang digunakan sebagai pengantar upacara disebut : Brahma. Nama ini kemudian digunakan untuk menyebutkan, Ia yang maha kuasa. Mantra yang ditujukan kepada Tuhan dalam salah satu manifestasinya disebut ”Stawa” misalnya ”Siwastawa, Barunastawa, Wisnustawa, Durghastawa, dan sebagainya.

Mantra pada umumnya memakai lagu dan irama, sehingga mantra juga disebut ”Stotra”. Dalam sekian banyak mantra, contoh dua buah mantra yaitu mantra ”Puja Trisandhya” dan mantra ”Apsudewastawa” dapat diambil kesimpulan bahwa mantra adalah sebagai sarana persembahyangan yang berwujud bukan benda (non material) yang harus diucapkan dengan penuh keyakinan. Tanpa keyakinan semua sarana persembahyangan itu akan sia-sia, untuk dapat menghubungkan diri dengan yang dipuja.

















Menurut Svami Siwananda

PRANAWA

OM, (Aum) adalah segala-galanya.
OM adalah nama suci Tuhan, Isvara atau Brahman.
OM adalah nama sejati-MU.
OM meliputi ketiga lapisan dunia.
OM melambangkan segala dunia fenomenal.
Dari OM alam semesta indra-indra ini diproyeksikan.
Dunia ini ada dan lenyap dalam OM.
A mewakili alam fisik
U mewakili alam mental dan astral, alamnya para siddha (jiwa cerdas), semua sorga.
M mewakili seluruh alam dalam keadaan lelap bahkan dalam keadaan bangunpun, semua yang tak dapat dikenali yang berada diluar pencapaian kecerdasan.
OM mewakili segala-galnya.
OM adalah dasar kehidupan, pemikiran dan kecerdasan.
OM adalah segala-galanya.
Semua kata yang menyatakan obyek terpusatkan pada OM.

Oleh karena seluruh dunia ini berasal dari OM, bersandarkan dalam OM dan hancur dalam OM.
Duduklah dalam meditasi, ucapkan OM dengan keras tiga, enam atau dua belas kali. Seluruh pikiran duniawi akan lenyap dari pikiranmu dan menghilangkan viksepa (pikiran yang terombang-ambing). Kemudian ucapkan OM dalam hati. Japa OM (pranawa japa) mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam pikiran. Pengucapan aksara suci OM merupakan salah satu yang menjadi pusat perhatian semua orang Eropa untuk mempelajari pengetahuan ketimuran.

Vibrasi yang dihasilkan dalam kata ini sangat dahsyat. Nampaknya sulit dipercaya kecuali harus dicoba untuk melatihnya. Bila seorang telah mencobanya maka ia dengan mudah dapat memahaminya bahwa pernyataan di atas adalah benar sama sekali. Aku telah mencoba kekuatan vibrasi yang dihasilkan dan sangat dapat dipercaya efek yang ditimbulkannya.

Diucapkan dalam cara yang benar atau diucapkan dengan cara dieja mempunyai pengaruh yang pasti pada murid, membangunkan dan mengubah setiap atom dalam fisiknya, menghasilkan vibrasi dan kondisi yang baru serta membangunkan kekuatan diri yang terpendam.






Dikutip dari : Tabloid Pasupati
Oleh : Ida Pandita Mpu
Dharma Mukti Sidha Kerti .

Hari Raya Nyepi menjadi salah satu hari raya besar, memiliki sekelumit kisah yang berasal dari tanah India pada abad sebelum masehi, Perayaan ini juga menjadi sebuah sejarah, dimana berhentinya pertikaian yang terjadi antar suku yang ada di India.

Hari Raya Nyepi jatuh pada Tilem Kesanga di bulan Maret, merupakan salah satu hari raya besar bagi umat Hindu Bali. Hari yang menurut sejarah pelaksanaannya dimulai sejak tahun 78 masehi, memiliki sekelumit kisah yang bisa menjadi sebuah refleksi bagi umat Hindu yang ada di Indonesia.
Mengingat pada tahun 248 masehi, pertikaian antar – suku di India sangat memprihatinkan , dalam jaman itu pertikaian selalu mewarnai suku-suku di India , beberapa suku yang ada , seperti : Pahlawa, Saka, Yuehchi, Yawana dan Makawa, selalu bertikai dengan tujuan mencari Kekuasaan.

Suku – suku tersebutpun silih berganti mengalami kemenangan, mulai ketika suku Pahlawa mengalahkan suku Yawana dan suku Saka , lalu suku Saka berhasil mengalahkan suku lainnya sehingga kembali harus berhadapan dengan suku yang sebelumnya pernah menaklukannya. Kemudian suku Saka sempat mengalami masa kejayaan pada tahun sebelum masehi , menyadari pertikaian yang masih berlangsung, suku bangsa Saka yang terdiri dari "Saka Tigrakhauda, Saka Haumawarga dan Saka Taradaraya”, mengubah garis perjuangan mereka yang sebelumnya dibawah garis Politik dan Militer.

Kali ini diganti garis perjuangan Kebudayaan, hal tersebut mengakibatkan kebudayaan suku bangsa Saka melekat di dalam kehidupan se hari-hari rakyat, pada saat kekuasaan suku Saka, penanggalan yang digunakan oleh Negara adalah menggunakan penanggalan berdasarkan letak posisi matahari yang dikenal dengan penanggalan “Saka”.

Sekitar tahun 125 sebelum masehi, suku bangsa Yueh-chi yang memegang tapuk kekuasaan, melihat suku bangsa Saka yang mengubah arah perjuangannya, suku bangsa Yueh-chi yang saat itu dipimpin dinasti Kusana merasa terketuk hatinya , pasalnya ketika suku bangsa Saka memegang kekuasaan, tidak ada tindakan penindasan yang dilakukan kepada suku bangsa yang tunduk dibawah kekuasaannya.

Berbagi seni dan budaya yang dihidupkan akhirnya dijadikan”Kebudayaan Negara”, hingga pada tahun 78 masehi, seorang dari dinasti Kusana bernama “Kaniska” dilantik menjadi seorang raja. Dengan bijaksana diresmikanlah kalender tahun Saka sebagai system pengalenderan yang berlaku pada zaman tersebut, saat peresmian, ada beberapa bulan yang ditetapkan pada saat itu , di antaranya Chitirai atau disebut dengan Mesha dan istilah lainnya Waisaka.

Dalam istilah Bali dinamakan sasih Kadasa , serta masih banyak lagi nama bulan yang ditetapkan dalam penanggalan saka saat itu , tepatnya pada 21 Maret 79 masehi hal tersebut dilakukan untuk mengenang kejayaan suku bangsa Saka dan merupakan hari penobatan menjadi seorang raja. Pada saat kepemimpinan Raja Kaniska, banyak sekali kemajuan yang terjadi, kesetabilan politik dan toleransi umat Hindu dan Bhuda selalu berjalan sinergis, berbagai kesenian dan kebudayaan dari beberapa suku bangsa yang ada menjadi berkembang dan tetap lestari.

Selain itu penghargaan tertinggi untuk para umat agama yang ada pada saat itu, dibuktikan dengan seringnya melakukan pertemuan besar antar – umat beragama yang pada saat itu adalah Hindu dan Budha, pesamuan agung atau yang disebut sidang raya tersebut, dilakukan oleh Kaniska untuk menjaga kerukunan umat beragama, agar selalu bisa beriringan dalam membangun pemerintahan.

Hubungan diplomasi keluar, seperti dengan Yunani, China dan India bagian selatan berlangsung kian baik , beberapa pengaruh dari kekuasaan raja Kaniska juga dapat dilihat dari banyak hal , salah satunya dari system penanggalan yang digunakan oleh beberapa kawasan India bagian timur dan India bagian Utara.

Ketika pengaruh tahun saka belum masuk, bangsa – bangsa tersebut masih menganut penanggalan Chandra, yakni berpatokan pada letak posisi bulan, hingga akhirnya pengaruh penanggalan sampai ke Bali dan dipadukan penggunaannya dengan penanggalan Chandra yang digunakan sampai saat ini hanya saja, karena perbedaan letak geografis dan tempat yang menjadikan perbedaan letak posisi matahari, akhirnya membedakan ketepatan jatuhnya perayaan Tahun Baru Saka di Indonesia dengan perayaan Tahun Baru Saka India.

Pada saat Tahun Baru Saka yang jatuh setelah Tilem sasih kesanga, beberapa lontar menyebutkan adanya ritual yang harus dilakukan oleh umat Hindu di Bali, seperti halnya yang terdapat di lontar Sri Aji Kasanu, dimana disebutkan ada salah satu ritual yang ditafsir dengan istilah Nyepi, adapun beberapa bait lontar menyebutkan ; "ring tileming sasih kesanga patut mapraketi caru tawur wastanya, sadulur Nyepi awengi".
Kalimat tersebut bermakna , bahwa pada tilem sasih kesanga, patut melakukan upacara Bhuta Yadnya yaitu caru yang disebut dengan “Tawur”, yang dilanjutkan dengan Nyepi sehari , sehingga setelah melakukan upacara tawur pada tilem sasih kesanga , umat Hindu di Bali pada umumnya melakukan yang disebut dengan Nyepi untuk menyambut datangnya sasih Kadasa yang merupakan awal dari Tahun Baru Saka.











Sumber Cerita diambil dari : "Lontar Tatwa Kala"
Pada Suatu hari ketika Betara Siwa sedang jalan-jalan dipinggir pantai, melihat Dewi Uma pakianya bagian bawah diembus angin yg kencang, Angin itu dibuat oleh Batara Baruna penguasa laut, Akibat dari angin yg kencang menyebabkan bagian sensitif kelihatan samar-samar mengundang birahi / nafsu Betara Siwa Tri Netra, lantas Batara Siwa mengeluarkan ilmu agar Dewi Uma mau melakukan patemon layak sensor, namun Dewi Uma menolak, karena prilaku yang demikian tidak sesuai dengan prilaku dewi –dewi di Kahyangan, akibat tidak dapat menahan nafsu akhirnya air mani ( kama ) meleleh menetes sampai kelaut.

Kemudian dijumpai oleh Batara Brahma & Wisnu lalu dibinanya dan dirawatnya terus dipuja dgn "JAPA MANTRA" Kemudian benih itu lahir menjadi Raksasa yg hebat dan terus menggeram – geram menanyakan siapa ayah dan siapa ibunya, kemudin oleh Batara Barahma & Wisnu diberitahu sil-silahnya, Ayahnya bernama Batara Siwa dan Ibunya Dewi Uma, dan tinggal di Siwa Loka, lalu Raksasa itu pergi ke Siwa Loka menghadap Batara Siwa dan Dewi Uma, dan meminta agar diakui sebagai putranya dan memohon Wara Nugraha, apa yang pantas dimakannya, sebelum diakui sebagai putranya dan dianugrahi Betara siwa meminta taring yg panjang itu dipotong terlebih dahulu, agar dapat melihat wajah ayah dan ibunya yg seutuhnya.

Petunjuk Batara Siwa diikuti oleh Raksasa itu, setelah taring dipotong barulah Raksasa itu dapat melihat wujud Batara Siwa dan Uma seutuhnya, sejak itulah Raksasa diberi gelar “Batara Kala” dan tidak ada kesaktian yg dapat mengalanginya dan Batara Kala diberi anugerah boleh memakan orang yg lahir di Tumpek Wayang, tujuannya anugerah itu untuk memperingati hari lahirnya Batara Kala sendiri.
Kebetulan Batara Rare Kumara adalah putra Batara Siwa hasil perkawinan dgn Dewi Uma yang sama-sama lahir di Tumpek Wayang, karena lahirnya disamai oleh adiknya sendiri, Batara Kala jadi sangat marah, sesuai dengan anugerah Batara Siwa kepadanya, Batara Kala memohon untuk memakan adiknya Batara Rare Kumara.

Tetapi Batara Siwa masih menangguhkan, karena adiknya masih kecil, kelak sudah besar baru boleh dimakan, hampir setiap hari Batara Kala memohon agar Batara Rare Kumara cepat besar untuk bisa dimakan, namun Batara Siwa pintar dipastu agar Batara Rare Kumara tetap menjadi anak-anak ( Rare ) agar tidak bisa dimakan oleh Batara Kala, tetapi tipu muslihat Batara Siwa diketahui oleh Batara Kala , kemudian Batara Kala emosi , dengan sikap yg arogansi Batara Rare Kumara dikejarnya mau dimakan, tatkala itu dilihat oleh Batara Siwa pada waktu Tumpek wayang, lantas Batara Siwa berkata: "Hai anakku jangankan adikmu orang tuamu boleh kau makan asalkan kau bisa menjawab pertanyaan orang tuamu", karena pertanyan terlalu banyak sehingga kehabisan waktu dan sudah sore, sehingga Batara Kala tidak bisa memakan adiknya, ayahnya serta ibunya karena waktu sudah lewat (sore).

Batara Kala tambah marah merasa dibohongi kemudian adiknya Rare Kumara dikejar mau dimakan, dalam pengejaran batara rare selalu dapat lolos, akhirnya Batara Rare Kumara bersembunyi dibawah gender wayang yang sedang ditabuh oleh juru gender untuk mengiringi Ki Dalang ngewayang, pada saat itu Batara Kala datang juga disana dalam keadaan tergesa-gesa serta disertai kehausan dan lapar, banten yang ada di tempat ngewayang dimakan oleh Batara Kala, dilihat oleh Ki Dalang, terjadilah dialog dgn dalang disuruh ganti rugi namun Batara Kala menolak, biar tidak terjadi openi berkepanjangan, yg mana bisa meruncing masalah maka Batara Kala memberi anugerah kepada Ki Dalang untuk melakukan, melaksanakan pengelukatan Wayang Sapu Leger bagi anak yg lahir di Tumpek Wayang.

Oleh karena itu jika Putra / Putri yg lahir di Tumpek Wayang wenang mebasuh /melukat dgn tirta Wayang Sapu leger jika tidak dibayuh atau ditebus anaknya nanti ambeknya gede. katanya.
























Dikutip dari : Konsep Siwa Budha di Bali
Penulis : Pinandita Arbawa Tanjung Mas
Editor : Drs I Made Karda, M.Si

Tirthayatra berasal dari kata “tirtha” dan “yatra”, Tirtha berasal dari akar kata “tr” yang berarti “triyate anena” atau dengan mana disebrangkan , dengan mana orang disebrangkan dari lautan dosa . Tirtha juga berarti air suci , air kehidupan atau nectar, juga berarti tempat-tempat suci yang ada air sucinya, disamping itu tirtha juga berati atau memiliki makna sebagai orang-orang suci, karena umumnya orang-orang suci berada ditempat-tempat suci yang ada airnya. Misalnya di dekat sungai Gangga, Yamuna, Godavari, Narmada, Kaveri dan sebagainya, kemudian orang-orang suci juga disebut “tirtha” karena mereka ini diyakini mampu menyucikan diri, sebagaimana karunia yang ditunjukan oleh tempat-tempat suci dan air .
Sedangkan kata “Yatra” suatu perjalanan, dengan demikian dari ilmu bahasa (bedah membedah kata ) ini, tirthayatra sesungguhnya bermakna sebagai suatu perjalanan suci atau perjalanan ke tempat-tempat suci, mengunjungi tempat-tempat suci dan perjalanan untuk menyucikan diri dari pengaruh dosa. Dulu, agama Hindu atau Dharma Hindu, sebelum resmi dipakai, beredar istilah Agama Tirtha, konsep Agama Hindu adalah dari kata “Sindhu” yang artinya “air” atau “amertha”. Oleh karenanya disebut juga agama Tirtha.

Adapun yang melatar belakangi agama Tirtha ini lahir karena kita lahir dari yang maha suci, yaitu lahir dari “Tirtha Purusa”, adapun tirtha purusa ini sering disebut “Panca Tirtha” yang terdiri dari lima macam tirtha yang meliputi :
  • “Tirtha Pradana” ; yaitu tirtha Kamandalu , istilahnya Purusa – Pradana, atau Akasa – Pratiwi , inilah tirtha yang pertama kali yang menyebabkan manusia itu ada .
  • “Tirtha Sanjiwangi” ; yaitu tirtha yang menghidupkan manusia semasuh berada di kandungan .
  • “Tirtha Pawitra” ; yaitu air tuban yang membersihkan si jabang bayi .
  • “Tirtha Kundalini” ; yaitu tirtha kehidupan , kalau di Merajan / Sanggah letaknya di “Bethara Hyang”
  • “Tirtha Maha Tirtha” ; tirtha ini sering disebut sebagai “Wangsuh pada” dari Ida Bethara .
Putaran tirtha yang pertama sampai yang kelima, namanya “ Ngewindu”, Jadi agama Hindu berasal dari kata Sindhu (nama sungai di India), kemudian menjadi Amertha (yang artinya air), lalu menjadi Windhu, dan terakhir berubah menjadi Hindu, yang artinya amertha kehidupan dan kematian.

Segala upacara kehidupan dan kematian menurut Hindu harus melalui lima tirtha tersebut diatas, jadi siklus agama Hindu pernuh dengan upacara tirtha dari : Tirtha Kamandalu – Tirtha Sanjiwangi – Tirtha Pawitra – Tirtha Kundalini – Tirtha Maha Tirtha, kembali ke Tirtha Kamandalu, begitu seterusnya .

Istilah Tirtha yatra, yang berarti mengunjungi tempat-tempat suci, karena keberangkatan mereka memang untuk meningkatkan kesuciannya, bukan untuk menyucikan pihak lain, ada istilah lain yang artinya sepadan dengan tirthayatra yaitu “Tirthatana” dan Tirthabhigamana” , kedua istilah ini bermakna sama dengan tirthayatra hanya kurang populer di Indonesia / Bali.

Dalam kitab suci Sarasamuscaya, bahwa perjalanan suci ketempat - tempat yang suci merupakan kegiatan yang amat suci (“Atyanta Pawitra”), tirthayatra dikatakan lebih utama “bila” dibandingkan dengan penyucian Panca Yadnya lainnya .

Adapun alasannya tiada lain karena kunjungan ketempat tempat suci dapat pula dilakukan oleh orang yang miskin harta, selanjutnya dalam Sarasamuscaya dijelaskan pula bahwa mereka yang tidak dapat melakukan tirthayatra sesungguhnya orang ini dapat dikatakan sangat miskin, demikian mulia manfaat tirthayatra itu, namun didalam pelaksanaannya kemudian muncul persoalan lain ,,,, Apakah itu ?

Persoalan baru muncul yaitu :
  • Dimanakah tempat suci yang layak dipakai tujuan tirthayatra ?
  • Apakah hanya terbatas pada Pura Kahyangan jagat saja ?
  • Apakah termasuk juga pada Pura Sad Kahyangan ?
  • Bagaimana dengan pura-pura dilingkungan Tri Kahyangan ?
  • Apakah disemua pura , semua tempat yang disucikan sebagai tempat yang layak menjadi tujuan tirthayatra ?
Menurut Reg Weda I.191.13 menyatakan :
Soma Rarandhino hrdhi gavana yavasena, marya eva sva okye
Artinya : “ Oh Tuhan Yang Maha Pengasih, semoga Engkau berkenan bersthana pada hati nurani hamba sebagai pura, seperti halnya anak-anak sapi yang merumput dipadang subur , seperti pula halnya gadis gadis dirumahnya sendiri .“

Perhatikan pula kitab suci Bhagawadgita IX.11 , yang berbunyi :
Avajayanti mam mudha , manusim tanum asritam , param bhavam ajananto, Mama bhuta mahesvaram
Artinya :
“ Aku berada dalam tubuh manusia , mereka yang bodoh tidak menghiraukan Aku , yang lebih tinggi sebagai penguasa agung dari segala yang ada. Bila diperhatikan mantra-mantra tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tempat yang suci itu berada dalam diri kita, Ia tidak usah dicari kemana mana ( “ Tan madoh rik awak ring hati tongwania “ )
Namun kita tidak boleh terburu buru memperbaiki orientasi logika agama, bahwa berkunjung ke tempat suci itu tidak perlu, cukup dengan mengetahui rahasia Tuhan ada di dalam diri, merasa sudah cukup . Janganlah menafsirkan mantra Weda sepotong-sepotong, Mantra Weda dan sloka-sloka kitab suci tak pernah salah , tetapi penafsirlah yang sering kepleset memaknai bunyi suatu Weda .
Mantra Weda adalah suatu puncak dari suatu kebenaran , ia bersifat muklak , sehingga perlu disadari bahwa untuk mencapai puncak itu butuh waktu dan proses yang bertahap ( ingatlah selalu bahwa arti dari “wyapi – wyapaka “, tidaklah berarti bahwa Tuhan itu selalu ada dimana-mana , namun saktinyalah , vibrasinyalah kita rasakan ada dimana-mana. Ibarat sinar matahari itu kita rasakan ada dimana-mana, namun Tuhan itu sendiri bukanlah matahari )
Kebenaran tentang adanya Tuhan dalam diri akan diyakini bila seseorang telah mencapai tingkat kesadaran diri yang tinggi , terlepas dari kesadaran badan ( kalau di Agama Budha telah mencapai tingkat Samadi yang ke delapan, sedangkan di Saolin telah mencapai tingkat yang kesepuluh – yaitu “Nirwana”- akhir dari perubahan, kedamaian dan ketenangan .itu sama dengan pembebasan dari ikatan keinginan, ego, penderitaan dan kelahiran kembali – kalau di Hindu dinamakan “Moksah” ( Muracintya) dan guna menumbuhkan tingkat kesadaran spiritual inilah orang-orang perlu melakukan berbagai sadhana , apakah dengan jalan: Bhakti Yoga , Jnana Yoga , Karma Yoga atau Raja Yoga.
Dari ke empat Catur Yoga tersebut yang merupakan disiplin spiritual menurut Hindu , salah satunya dapat dilaksanakan dengan “ Tirthayatra “ ini adalah salah satu proses dari sadhana atau disiplin spiritual Hindu .

Dalam memahami Tuhan ada dalam hati sanubari , jangan lupa kata-kata mutiaranya “ Trio Bimbo “ Engkau jauh , aku jauh “ , “ Engkau dekat , aku dekat “ . Tuhan yang berada dalam diri memang akan menjadi jauh , jika hakekat kesadaran diri belum terwujud , jadi tidaklah secara gegabah seseorang dapat mengklaim bahwa mereka sudah mengenal Tuhan yang berstana dalam dirinya tanpa bukti realisasi spiritual .
Meniti jalan kedalam haruslah dengan aktipitas luar , dan tirthayatra adalah jalan untuk meniti Tuhan didalam diri sendiri , ingat manusia itu adalah aspek mikrokosmos (Bhuana alit) Kesadaran spiritual diperoleh dengan mengadakan kontak dengan Bhuana agung .

Pencapaian spiritual kedalam membutuhkan beberapa persyaratan seperti kondisi mental , disiplin pikiran , mengendapkan aktivitas panca indra dan potensi lahiriah lainnya , utnuk mencapai kesucian pikiran itulah , dibutuhkan tempat yang suci , tempat yang bercitrakan keilahian , tempat-tempat yang suci tersebut yang dikunjungi kemudian akan menjadi semacam alat bantu bagi bangkitnya potensi spiritual di dalam diri .
Disini perjalanan jiwa membutuhkan partisipasi pisik , jadi tak serta merta karena Tuhan bersifat “ Sarwa khala idam Brahman “(semuanya adalah Tuhan) , kita tidak membutuhkan tempat suci , hal tersebut semata mata karena tingkat kesadaran kita saja yang masih terasa terpisah dengan Tuhan .
Manusia sebagai ciptaan Tuhan (Brahman) memang harus terpisah , menurut konsep “Dvaita” adalah konsep dualisme , adanya keterpisahan antara sang Pencipta (Brahman) dengan ciptaannya (manusia) , hanya mereka yang menganut konsep “Advaita” sudah mengalami fase kesadaran diri manunggal dengan kesadaran besar layak menyatakan aspek ke Tuhanan itu telah manunggal dengan dirinya ( Manunggaling Kawula Gusti ) .

Pesan (dari Jik Ngurah)
tisi yang menyatakan bahwa kalau metirthayatra , hendaknya diurut dari Bali , Indonesia , setelah itu baru ke luar negeri (India) , yang paling penting sebetulnya adalah bagaimana caranya agar tirthayatra itu dapat berfaedah secara effektif bagi tiap individu dengan semakin majunya kwalitas hidup kita setelah melakukan tirthayatra berulang kali .
Selama melakukan tirthayatra , orang dianjurkan sebisa bisanya untuk mengembangkan sifat-sifat yang agung dan mulia, semua ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang optimal bagi tirthayatri , yaitu pelaku spiritual .
Usahakan selalu berkata dan berbicara yang baik, benar dan suci ( satya ) ,Ingat selalu bahwa kebenaranitu adalah tirtha (“Satyam Tirtham”), Sifat sifat memaafkan / pengampunan juga adalah tirtha (“Ksama Tirtham”), Penguasaan diri terhadap nafsu / indrya juga adalah tirtha (“Tirtham Indriyaningrahah”), disamping itu mencintai seluruh mahluk hidup adalah tirtha (“Sarwa bhuta daya tirtham”), Kesadaran juga adalah tirtha (“Tirtham arjvam eva ca”) .
Hal yang terpenting juga harus diingat adalah setiap melakukan tirthayatra hendaknya melakukan “dana punia” atau sedekah , karena kedermanan atau sedekah juga adalah tirtha , penguasa pikiran juga disebut tirtha , kepuasan diri juga adalah tirtha , pengekanagan nafsu birahi juga adalah tirtha , dan kata kata yang amnis dan penuh mengandung kebenaran adalah tirtha , dan yang terakhir tapa brata itu juga adalah tirtha.
Dengan demikian tirthayatra penuh dengan ketulusan rohani pensyaratan , aturan suci yang harus dipenuhi , dengan mengikuti aturan dan peraturan suci itu , pelaksanaan tirthayatra akan mampu menyucikan pikiran / bathinnya yang terdalam. Jadi Tirthayatra tidaklah sama dengan wisata , dia mempunyai tujuan yang suci yakni membersihkan pikiran dan bathin , agar menjadi suci dan dekat dengan Sang Pencipta .
Semoga berhasil.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar